Minggu, 29 Januari 2012

ASY’ARIYAH (AHL AL-SUNNAH-AL-KHALAF)


A. Asy’ari dan Latar Belakang Lahirnya Asy’ariyah
Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi Musa al-Asy’ari (260-324 H) dianggap sebagai pendiri alirah Asy’ariyah. Lahir di Bashrah, dan sampai usia 40 tahun dia masih merupakan seorang penganut kalam Mu’tazilah. Dia sering menggantikan gurunya dalam mengajar. Tetapi dalam usia kematangan berpikir seseorang, dia mengalami konversi. Dia meninggalkan paham Mu’tazilah yang dianutyna bepuluh-puluh tahun, dan berbalik menyerangnya dengan alat yang digunakan aliran itu sendiri, dan sekaligus menetapkan paham baru yang dianutnya. Paham ini kemudian diikuti banyak orang sehingga lahirlah Asy’ariyah sebagai salah satu aliran kalam dalam Islam.
Mengenai sebab-sebab konversi akidah yang dialami oleh Asy’ari ada berbagai versi riwayat. Jalal Musa, seorang analisis kontemporer mengenai masalah ini, menjelaskan sebab intrinsik berupa pergolakan spiritual Asy’ari sendiri. Di bidang kalam, di seorang Mu’tazilah dan berguru dengan al-Juba’i; sedangkan di bidang fikih, dia bermazhab Syafi’i dan berguru dengan Abu Ishaq al-Marwazi (w. 340 H), seorang tokoh mazhab Syafi’i di Irak. Dari kedua sisi kehidupan intelektualnya ini, Asy’ari melihat adanya dua kubu yang memilah-milah umat dengan kekuatannya masing-masing, yaitu kubu ulama kalam dengan kekuatan metode rasionalnya, dan kubu ulama fikih dan hadis dengan kekuatan metode tekstualnya. Kekuatan dua kubu tersebut diketahuinya dan ia pun memilikinya. Karena itu timbulah keinginannya untuk menyatukan kedua kekuatan itu dalam suatu aliran, sehigga para ulama kedua kubu itu dapat diintegrasikan pula. Realisasi idenya ini dimulai dengan peristiwa konversi tersebut. Pendapat Jalal Musa yang berbentuk analisis psikologis ini lebih rasional dibanding pendapat-pendapat para analis sebelumnya, karena pendapat ini menitikberatkan pada pergolakan internal dalam jiwa Asy’ari sendiri, yang sangat berperang dalam suatu peristiwa konversi, aspek yang kurang mendapat perhatian para analis yang lain.
Di samping membicarakan masalah penyebab intrisik peristiwa konversi, para ahli juga membahas banyak event sejarah yang melatari konversi yang dialami Asy’ari tersebut. Antara lain adalah riwayat dari al-Subki dan Ibn Asakir, yakni tentang hadirnya Nabi saw dalam mimpi Asy’ari dan memberitahu kepadanya bahwa mazhab ahli hadis yang benar, bukan Mu’tazilah yang selama ini ia anut. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Asy’ari dengan gurunya (al-Juba’i) berdebat mengenai prsoalan kedudukan orang mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat. Dalam perdebatan terebut, al-Juba’i tidak dapat memberikan jawaban tuntas yang memuaskan Asy’ari. Inti riwayat-riwayat tersebut adalah, bahwa Asy’ari sedang dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan airan Mu’tazilah yang dianutnya tidak kurang dari 40 tahun.
Terlepas dari berbagai analisis yang dikemukakan di atas, yang jelas dan merupakan fakta sejarah adalah bahwa Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan kemudian membentuk aliran baru, ketika Mu’tazilah sedang berada dalam fase kemunduran (kelemahan). Yaitu setelah al-Mutawakil membatalkannya sebagai mazhab resmi negara, yang selanjutnya diikuti oleh sikap khalifah berpihak kepada Ahmad bin Hanbal (tokoh ahli hadis/salaf), rival Mu’tazilah terbesar waktu itu. Dalam hal ini, Asy’ari menegaskan dirinya sebagai pengikut Ahmad bin Hanbal, tokoh salaf yang disebutnya sebagai Ahl al-Sunnah.
B. Metode Kalam Asy’ariyah
Asy’ari membuat andaian bahwa jika ada seseorang bertanya, “anda telah menolak pendapat Mu’tazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Rafidlah dan Murji’ah, lalu bagaimana paham anda. Maka dia akan menjawab, “Pendapat dan keyakinan yang kami percayai adalah berpegang kepada kitabullah dan sunah rasul dan apa saja yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’un dan para imam hadis. Kami berpegang kepada itu semua dan pendapat yang dipedomani oleh Imam Ahmad bin Hanbal, tokoh salaf, serta manjauhi orang-orang yang menentang pendapatnya. Atas dasar ini jelaslah bahwa Asy’ari bermaksud menghidupkan metode berfikir Imam Ahmad bin Hanbal, metode kalam kaum salaf dan menganggapnya sebagai metodenya sendiri.
Meskipun Asy’ari menegaskan dirinya sebagai pengikut Ahmad bin Hanbal, namun sebagian kaum Hanabilah tidak mengakuinya. Karena Asy’ari, menurut pandangan mereka, tidak sepenuhnya mengikuti salaf yang sama sekali menolak kalam dengan metodenya yang rasional dalam pembicaraan masalah akidah. Sikap ini sebenarnya berpangkal pada terjadinya perpecahan di kalangan kaum salaf, yang juga mengaku Ashlusunah. Ini terjadi pada abad ke-3 H, yakni antara pengikut Ibn Kullab dan Ibn Khuzaimah (w. 311 H) di sekitar sifat “kalam” Tuhan. Ibn Kullab, yang ada terpengaruh pemikiran filsafat, berbeda pendapatnya dengan Ibn Khuzaimah, yang tetap berpegang teguh pada tradisi ahli hadis. Akibatnya, Ibn Kullab dianggap tidak lagi termasuk kaum salaf atau Ahlusunah. Padahal Asy’ari, waktu menyatakan diri keluar dari Mu’tazilah, banyak mengadopsi pendapat-pendapat Ibn Kullab, sehingga ia dianggap sebagai pengikutnya oleh sebagian kaum salaf, termasuk diantaranya Ibn Taimiyah, yang tidak mengakui kesunnian Asy’ari. Memang metode berfikir yang digunakan Asy’ari berbeda dari metode salafiah ahli hadis, meskipun keduanya sama-sama biasa disebut sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam teologi Islam.
Metode yang dipergunakan Asy’ari memang unik, berbeda dari metode Mu’tazilah dan Salafiah, dan bisa dikatakan sebagai sintesa antara keduanya. Asy’ari mengambil yang baik dari metode rasional Mu’tazilah dan metode tekstual Salafiah, sehingga dia mempergunakan naqal dan akal secara seimbang; mempergunakan akal secara maksimal tetapi tidak sebebas Mu’tazilah dalam mempergunakannya, dan memegang naqal dengan kuat tetapi tidak seketat Salafiah dalam menolak akal untuk menjamahnya. Dalam argumentasinya yang berhubungan dengan akidah, Asy’ari mempergunakan dalil naqli dan aqli. Ia menetapkan apa yang terdapat dalam al-Quran dan hadis; ia menggunakan dalil-dalil rasional dan logika dalam membuktikan kebenaran apa yang terkandung dalam al-Quran dan hadis, setelah ia membuktikan kebenarannya melalui dalil naqli. Ia tidak menjadikan akal sebagai pemutus terhadap nash dalam meng-interpretasikannya tetapi berpegang kepada pengertian literal atau tekstualnya. Meskipun demikian, ia menjadikan akal sebagai pembantu untuk memahami dan mendukung makna zhahir suatu nash. Untuk itu, Asy’ari meminjam berbagai premis falsafi yang digeluti para filosof dan ditempuh oleh para pakar logika.
Metode sintesa Asy’ariyah ini, yang juga dianggap sebagai metode moderat, ternyata dalam operasionalnya mengalami perkembangan, baik pada diri Asy’ari sendiri, maupun pada tokoh-tokoh pendukungnya dalam beberapa abad sesudahnya. Perkembangan tersebut berupa besarnya porsi yang diberikan kepada salah satu sisi metodenya yang penting (akal dan naqal), sehingga ada kesan mendekatnya metode tersebut kepada metode salah satu aliran yang lain. Namun demikian, Madkur belum melihat varian operasionalisasi metode itu telah keluar dari garis moderasinya, karena garis moderasi suaatu metode berfikir bukanlah seperti garis yang matematis.
Menyusul saat konversinya, Asy’ari menulis al-Ibanat ‘an Ushul al-Diyanah (Penjelasan sekitar Pokok-pokok Agama), yang berisi penjelasan akidah aliran yang dibawanya. Dalam karya ini, Asy’ari mengaku sebagai pengikut Ahmad bin Hanbal, juga lebih banyak mempergunakan metode tekstual, yaitu dengan menjadikan naqal sebagai dasar, dan akal sebagai argumen penguatnya. Tetapi dalam fase kematangan mazhabnya, seperti tercermin dalam al-Luma’ (sorotan-sorotan), Asy’ari telah mempergunakan argumen rasional lebih dahulu dan kemudian disusul dengan argumen tekstual, sehingga tampak ada keseimbangan antara metode rasional dan metode tekstual dalam dirinya.
Dalam penerapannya, metode Asy’ariyah ini juga bervariasi, baik pada Asy’ari sendiri maupun pada para pendukungnya. Menurut Jalal Musa, Asy’ari mempergunakan naqal dan akal pada ruang lingkup tertentu. Misalnya: bidang sam’iyat (seperti masalah alam gaib dan hari akhirat) termasuk ruang lingkup naqal, dan masalah sifat Tuhan termasuk wilayah akal dan juga naqal. Asy’ari memang berusaha menjaga agar akal dan naqal hanya dipergunakan dalam ruang lingkup yang telah ditetapkan. Tetapi kadangkala dia menggunakan naqal lebih utama, karena melihat banyak ayat atau hadis yang menjadi pokok masalah akidah; dan kadangkala dia dia pergunakan akal untuk memperkuat naqal atau untuk mentakwilkannya secara rasional, meskipun bukan ruang wilayahnya. Sikap Asy’ari yang tidak mempergunakan metode tersebut secara ketat, tetapi bervariasi, menurut al-Kawtsari, karena dia selalu terlibat dalam perdebatan dengan lawan-lawannya dari kalangan Mu’tazilah dan Hasyawiyah, sehingga dia pergunakan metode yang dekat dengan kedua lawannya itu.
Begitu pula dalam perkembangan selanjutnya, metode Asy’ariyah yang moderat mengalami pergeseran mendekati metode Mu’tazilah, sehingga metode rasional lebih dominan. Menurut Jalal Musa, adanya pergeseran ini disebabkan adanya sikap berlebihan dari sebagian tokoh salaf yang dengan ketat berpegang kepada teks wahyu secara harfiah, sehingga dianggap berbahaya bagi akidah Islam. Pergeseran ini dimulai sejak al-Baqillani (w. 401 H), yang oleh sementara ahli dianggap sebagai tokoh Asy’ariyah kedua. Al-Baqillani, seorang dialektikus terkenal Asy’ariyah, karena banyak terlibat diskusi dengan pihak Mu’tazilah dan pendeta Kristen, yang banyak menggunakan metode rasional, tetapi sampai menyerap hasil pemikiran filsafat Yunani dan menjadikannya sebagai dasar-dasar argumentasi rasional dalam masalah akidah. Bahkan dia mewajibkan iman kepada dasar-dasar tersebut. Diantara dasar-dasar itu ialah: bahwa alam terdiri atas aksiden; aksiden tidak mampu bertahan sampai dua detik dan sebagainya. Meskipun demikian, al-Baqillani sama sekali tidak melupakan metode tekstual. Memang dalam kitab al-Tamhid (Pendahuluan), al-Baqillani sama sekali tidak memasukkan argumen tekstual, sehingga murni rasional. Tetapi dalam kitabnya yang lain, al-Inshaf, dia mempergunakan argumen rasional dan tekstual secara bersamaan dalam setiap masalah. Selain itu, al-Baqillani, sebagaimana Asy’ari, juga menetapkan ayat-ayat dan hadis mutasyabihat sebagai sifat-sifat Tuhan dengan “bila kayf” (tanpa diketahui bagaimanaya) dengan mengemukakan dalil naqal. Meskipun al-Baqillani telah membawa metode Asy’ariyah kepada rasionalitas yang lebih tinggi, namun menurut Abdurrhman Badawi, dia masih awam mengenai logika Aristoteles, karena dalam artumen-argumennya belum ditemukan terminologi logika tersebut. Badawi menilai al-Baqillani hanya mempergunakan logika yang digunakan di kalangan ulama ushul al-fiqh, seperti tentang qiyas yang diterapkan dalam akidah.
Kecenderungan metode Asy’ariyah kepada metode rasional diteruskan oleh al-Juwaini (w. 478), guru al-Ghazali. Al-Juwaini juga memilah-milah bidang akidah yang bisa disandarkan kepada argumen rasional, tekstual atau kedua-duanya. Dia juga menformulasikan sejumlah bentuk metode berfikir rasional di kalangan teologi Islam dan memberikan penilaian terhadap kredibilitas metode-metode tersebut, sebagaimana termuat dalam kitabnya al-Burhan (argumen). Pada masa akhir hayatnya, terdapat kecenderungan al-Juwaini kepada metode tekstual Salafi-Ahli hadis, terutama ketika menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, di mana dia tidak menggunakan akal untuk mentakwilkannya.
Meskipun para teolog Asy’ariyah lebih banyak mempergunakan metode rasional, namun hasil pemikirannya tetap tidak banyak yang sama dengan pendapat-pendapat Mu’tazilah, karena mereka tetap diikat oleh suatu pandangan teologis yang bersifat teosentris, yang berbeda secara diametral dengan Mu’tazilah yang antroposentris.
C. Pemikiran Kalam Asy’ari
Sebagai orang yang pernah menganut faham Mu’tazilah, Asy’ari tidak dapat memisahkan diri dari pemakaian akal atau argumentasi rasional. Ia menentang orang-orang yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal agama dianggap suatu kesalahan. Sebaliknya, ia juga mengingkari orang-orang yang berlebihan dalam menghargai akal pikiran semata sebagaimana aliran Mu’tazilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar