Minggu, 29 Januari 2012

Murji’ah


Seperti halnya Khawarij, kemunculan Murji’ah juga dilatari oleh persoalan politik, tegasnya keprihatinan terhadap skisme yang ditandai oleh perpecahan umat Islam menjadi berbagai faksi kekuatan politik. Sebagaimana diketahui bahwa skisme dunia Islam pada masa itu diwarnai oleh adanya tiga kekuatan politik yang saling bermusuhan: Khawarij dan Syi’ah serta kelompok Muawiyah. Khawarij adalah kelompok sempalan sekaligus penentang Ali, sedangkan Syi’ah merupakan pendukung Ali yang sikap fanatisme mereka menjadi semakin menguat ketika terjadi serangan seerius Khawarij terhadap diri Ali. Sungguhpun Khawarij dan Syi’ah adalah dua kekuatan politik yang saling bermusuhan, namun keduanya sama-sama menentang penguasa Dinasti Umawi tapi dengan motif yang berlainan. Kalau Khawarij memusuhi Dinasti Umawi karena mereka memandang dinasti ini telah menyeleweng dari ajaran Islam, Syi’ah menentang karena menilai mereka telah merampas kekuasaan yang sah dari Ali dan keturunannya.
Dalam suasana pertentangan seperti itulah lahir komunitas baru Islam yang secara teknis disebut Murji’ah. Dikarenakan traumatis terhadap pengalaman menyedihkan akibat pertentangan politik internal umat Islam di satu sisi dan keberadaannya sebagai bagian kelompok Jama’ah pada sisi lain, Murji’ah memiliki visi ingin mempersatukan kembali umat Islam dan karenanya mereka bersikap netral tidak mau turut dalam praktek saling mengkfirkan yang terjadi antara golongan yang bertikai. Bagi mereka para sahabat yang bertikai itu adalah orang-orang baik dan tidak keluar dari ajaran Islam. Oleh karena itu Murji’ah tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa sebenarnya yang salah, dan menurutnya lebih baik menunda (arja’) penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di depan Tuhan. Dengan demikian, Murji’ah pada mulanya adalah golongan netral yang tak turut serta dalam pertikaian politik dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertikai itu kepada Tuhan semata di akhirat.
Dari lapangan politik Murji’ah segera pula berpindah ke lapangan teologi. Persoalan hangat tentang Muslim pendosa besar yang sudah diangkat oleh Khawarij, mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau Khawarij menvonis pendosa besar sebagai kafir, Murji’ah tetap memandang mereka itu sebagai Mukmin. Adapun perihal dosa besarnya itu, menurut Murji’ah, ditunda penyelesaiannya hingga hari pengadilan akhirat nanti. Argumentasi yang Murji’ah ajukan dalam hal ini adalah bahwa Muslim yang melakukan dosa besar itu masih tetap mengakui, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhamad adalah Rasul-Nya. Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa besar menurut pendapat golongan ini, tetap mukmin dan bukan kafir.
Arja’a selanjutnya, juga mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan bagi yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat berupa ampunan Allah. Oleh karena itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah diberikan kepada golongan ini, bukan karena mereka menunda penentuan hukum kafir atau tidaknya muslim pendosa besar hingga ke hari pengadilan akhirat kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kudian dari iman, tetapi kerena mereka memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk sorga, baik secara langsung maupun setelah menerima hukuman di neraka.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kata arja’ dipahami oleh Murji’ah dalam dua pengertian. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Syahrastani, kata irja’ di samping berarti penundaan juga bermakna pengharapan. Pada tahap pertama, irja’ memang diartikan dengan penundaan dan konsep ini lebih bernuansa politis, yakni dalam pengertiannya memberikan penangguhan keputusan terhadap orang muslim yang melakukan dosa besar hingga di akhirat di hadapan Allah. Dengan perkataan lain, istilah irja’ pada tahap ini mengambil sikap tidak mengecam kafir terhadap penguasa. Adapun tahap berikutnya irja’ lebih berarti penempatan perbuatan sebagai unsur skunder dan bukan esensial dalam struktur iman, sehingga muncul harapan bagi pelaku dosa besar untuk masuk surga karena dosanya diampuni oleh Tuhan. Mereka mengatakan bahwa orang Islam adalah ahli surga, sedangkan dosanya diharapkan diampuni oleh Tuhan.
Murji’ah pecah dalam berbagai sekte kecil. Ada berbagai parameter dalam teori tipologi yang disampaikan oleh para ahli untuk mengklasifikasikan golongan Murji’ah. Dari segi pengaruhnya dari kelompok lain, al-Syahrastani menyebutkan Murji’ah Jabariyah, Murji’ah Qadariyah, Murji’ah Kharijiyah dan Murji’ah Murni. Sementara dari segi tokohnya, Murji’ah dibedakan atas al-Jahmiyah, al-Salihi, al-Yunusiyah, al-Ubaidiyah, al-Ghassaniyah, al-Tumaniyah, al-Saubaniyah, al-Ghailaniyah, al-Marisiyah dan al-Karamiyah. Adapun menurut teori Harun Nasution, pada umumnya kaum Murji’ah dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan besar, yakni Murji’ah moderat dan Murji’ah ekstrim.
Esensi doktrin Murji’ah moderat dan ekstrim terhimpun dalam pendangannya tentang muslim pelaku dosa besar dan konsepsi iman. Menurut Murji’ah moderat, orang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan kadar dosanya, dan ada kemungkingan bahwa Tuhan mengampuni dosanya sehingga akan langsung masuk surga. Termasuk golongan moderat ini adalah: al-Hassan Ibn Muhamad Ibn Ali Ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadis. Dalam hubungan ini Abu Hanifah mendefiniskan iman sebagai “pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang rasul-rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman”.
Definisi yang diberikan oleh Abu Hanifah ini menggambarkan bahwa semua iman, atau dengan kata lain, iman semua orang Islam sama, tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan iman orang Islam yang taat menjalankan perintah-perintah Allah. Ini boleh pula membawa kepada kesimpulan bahwa Abu Hanifah juga berpendapat perbuatan kurang penting diperbandingkan dengan iman. Jalan pemikiran serupa ini mungkin sekali ada pada Abu Hanifah yang dikenal sebagai imam madzhab yang banyak berpegang pada logika. Tetapi bahwa Abu Hanifah juga berpendapat bahwa perbuatan atau amal tidak penting, rasanya tidak dapat diterima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar