Minggu, 29 Januari 2012

Pengertian Ilmu Kalam


Sebelum masuk pada persoalan inti Ilmu Kalam, penting kiranya dijelaskan terlebih dahulu problem di seputar sebutan Ilmu Kalam dan Teologi (Islam). Sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman, Ilmu Kalam menfokuskan bahasannya pada segi-segi Tuhan. Mengacu pada pengertian dan karakter dasar semacam itu, bolehkah dan atau tepatkah istilah Ilmu Kalam diidentikkan dengan kata teologi, sehingga keduanya bisa saling bertukar dan menggantikan? Urgensi pertanyaan ini lebih didasarkan pada historisitas kata teologi itu, dimana selain secara historis karena kata teologi itu memang bukan orisinil dari khazanah dan tradisi Islam, dan sekaligus juga secara konsesional ternyata istilah teologi itu tidak sepenuhnya sama atau identik pengertiannya dengan kata Ilmu Kalam. Sebagai akibatnya sungguh wajar kalau hingga saat ini masih belum ada keseragaman pandangan dan terjadi pro-kontra masih mewarnai di kalangan pemikir Islam menyangkut pengidentikkan kedua kata itu. Sehubungan dengan problem ini, langkah penelusuran secara historis di seputar makna kebahasaan kata teologi dan lingkup kajian atau objeknya penting dilakukan untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pijakan.
Secara historis istilah teologi berasal dari khazanah dan tradisi Gereja-Kristen, yang kemudian diadopsi oleh umat Islam sehingga menghiasi khazanah pemikiran Islam. Tinjauan kebahasaan menunjukkan bahwa kata teologi (theology) merupakan istilah Yunani, gabungan dari dua kata yakni theos yang berarti Tuhan (God) dan logos berarti ilmu. Terkait dengan hal ini D.S Adam menjelaskan bahwa kata teologi secara etimologis dipergunakan di kalangan bangsa Yunani terhadap hasil karya para pujangga seperti Homer dan Hesiod yang berkenaan dengan para dewa, dan hasil karya para filosof, seperti Plato dan Aristoteles, yang berkenaan dengan filsafat mereka tentang Realitas Tertinggi. Jadi, teologi secara bahasa berarti ilmu tentang Tuhan, sama persis dan identik dengan arti dari istilah ilmu kalam. Dengan demikian teologi dan ilmu kalam, sejauh yang dimaksudkan adalah pengertian secara etimologis, maka keduanya dapat dipandang identik dan sekaligus bisa saling menggantikan.
Meskipun teologi dan ilmu kalam dari sudut kebahasaan bisa dikatakan identik, namun pada dataran terminologis ternyata ada sisi-sisi yang berbeda. Memang keduanya—sebagai tampak dalam pengertian etimologis—sama-sama membahas segi-segi Tuhan, namun dalam tradisi kristiani ternyata teologi juga mengkaji aspek agama selain kepercayaan atau ketuhanan. Kata teologi sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopaedia of Religion and Religions berarti ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta, namun sering kali diperluas hingga mencakup seluruh bidang agama. Dengan demikian pengertian teologi dalam agama Kristen memiliki objek yang lingkupnya lebih kompleks diaripada ilmu kalam, dan bahkan masalah hukum (yang dalam islam dibahas fiqih) tercakup pula dalam teologi. Atas dasar ini agaknya perkataan teologi lebih tepat dipadnkan dengan istilah fiqih, tentu saja bukan fiqih sebagaimana kita pahami sekaran ini—yang objek bahasannya menyangkut hukum islam—melainkan istilah fiqih seperti yang dipergunakan pada pra kelahiran ilmu fiqih (sekarang ini). Yaitu yang tidak saja berisi bahasan tentang masalah akidah tetapi juga masalah hukum–al-fiqh akbar tentang akidah, al-fiqh asgar mengenai hukum.
Memperhatikan penjelasan di atas setidaknya dapat ditetapkan adanya dua hal penting menyangkut kata ilmu kalam dan teologi. Pertama, sepanjang yang dimaksud adalah pengertian dari sudut kebahasaan, sesungguhnya pengidentikan ilmu kalam dengan teologi dapat dibenarkan, karena keduanya sama-sama mengarahkan objek kajiannya pada masalah Tuhan, dan bahkan dalam penggunaannya bisa saling menggantikan. Kedua, keidentikan dua istilah itu dalam arti bahasa ternyata tidak dengan serta merta menunjukkan keidentikannya dalam arti terminologis dan operasionalnya, sehingga wajar kalau di kalangan pemikir islam masih terdapa kelompok uyang menolak menggunakan kata teologi untuk menyebut Ilmu Kalam. Alansan penolakan itu tentu saja kerena perbedaan objek kajian antara Ilmu Kalam dan teologi (Kristen), dimana yang disebut belakangan tidak saja membahas Tuhan—yang padahal itu adalah satu-satunya objek Ilmu Kalam—tetapi juga aspek lain dari agama (Kristen). Dengan kata lain penolakan itu didasarkan pada argumen historis karena perbedaan cakupan objek kajian; teologi cakupan bahaasannya lebih luas daripada ilmu kalam. Sementara mereka yuang menerima, tentu setelah tahu perbedaan antara keduany, masih menetapkan persyaratan khusus: di belakang kata teologi harus diberi kualifikasi “islam”, sehingga menjadi teologi islam. Kata “islam” di belakang istilah teologi itu berfungsi sebagai indikator dan pembatasan bahwa teologi yang dimaksudkan adalah teologi Islam, bukan Kristen atau lainnya, dan objek bahasannya pun terbatas pada masalah Tuhan seperti kekhususan ilmu kalam, tidak seperti teologi Kristen yang begitu kompleks objek bahasannya. Dalam koteks ini Harun Nasution dan Hanafi, misalnya, sebagaimana tercermin dalam judul bukunya, adalah penulis yang masuk dalam kategori kelompok terakhir ini.
Selanjutnya menyangkut pengertian terminologis ilmu kalam masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli, sebagai tercermin dalam keragaman rumusan definisi yang mereka sampaikan. Perbedaan itu terjadi lebih dikarenakan oleh perbedaan sudut pandang, yang masing-masing darinya meberikan penekanan pada aspek tertentu: sebagian menekankan aspek ntologis atau objek, yang lain pada aspek epistemologis atau metodis dan lainnya lagi aspek kegunaan atau aksiologis. Diantara definisi yang menekankan dimensi ontologis kalam adalah dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa ilmu kalam merupakan “ilmu yang membahas wujud Allah, sifat-sifat-Nya, kenabian, alam dan hubungan Tuhan dengan makhluk-makhluknya. Sementara itu al-Iji, sebagaimana dinukil oleh Yunan Yusuf, yang lebih memberikan penekanan dimensi epistemologis-metodis kalam, mendefiniskan ilmu kalam sebagai “ilmu yang memberikan kemampuan untuk membuktikan kebenaran akidah islam dengan mengajukan hujah atau argumen guna melenyapkan keragu-raguan”. Dan definisi yang lebih memberikan penekanan pada aspek aksiologis, antara lain, disampaikan oleh Ibn Khaldun bahwa ilmu kalam adalah “ilmu yang mengandung perdebatan tentang akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional, dan penolakan terhadap ahli bid’ah yang menyeleweng dari faham salaf dan ahli sunah”.
Dari berbagai rumusan definisi tersebut dapat dipahami bahwa ilmu kalam, sebagai sebuah disiplin ilmu keislaman, dibangun di atas landasan ontologi dan epistemologi serta aksiologi tertenu. Dari tinjauan filsafat ilmu dapat dikatakan bahwa objek kajian ilmu kalam adalahTuhan dan derivasi-Nya. Epistemologi atau metode kalam adalah metode berfikir agamis yakni berangkat dari kebenaran wahyu dan akal difungsikan sebagai sarana penjelas atau penguat. Atas dasar ini maka tidak bisa dibenarkan pendapat yang menyebut teologi islam, sekalipun itu diarahkan kepada teolog rasionalis-Mu’tazilah, sebagai dikatakan oleh Henrich Steiner, sebagai pemikir bebas (free thinker). Dan selanjutnya aksiologi ilmu kalam, selain berperan sebagai informasi dan konfirmasi, sekaligus juga apologetik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar